Selamat datang di Kawasan Penyair Sulawesi Tengah. Terima kasih atas kunjungan Anda

Kamis, 24 Februari 2011

Nooral Baso


Terlahir dengan nama Mochammad Noor Baso di Selayar, 27 Juli 1943. Dalam karya tulis disingkat menjadi Noral Baso. Kuliah di IKIP Makassar lalu pindah tugas di Palu dan menyelesaikan studi Strata I (S1) di Bidang Kependidikan Universitas Tadulako Palu. Di tingkat lanjutan, ia sekolah di Selayar dan Makassar.
Sebagai PNS pernah bertugas di Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud Sulawesi Tengah selama 12 tahun. Pensiun sebagai Guru SLTA tahun 2003 setelah berdinas selama 43 tahun.

Sedikit kegiatan:
• Salah satu pencetus, penulis naskah dan pengisi ruang Sastra Budaya dan acara Sandiwara Radio RRI Palu, tahun 1969-1970-an.
• Anggota Tim Peneliti Dokumentasi Kebudayaan Daerah, tahun 1980.
• Anggota Tim Peneliti Bahasa Daerah Sulawesi Tengah, tahun 1980-an


Pernah mengikuti:
• Temu Seniman Nasional sekaligus Pembentukan Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia (BKKNI), Surabaya tahun 1977. Membentuk Pengurus BKKNI Wilayah Sulteng sekaligus sebagai pengurus.
• Temu Nasional Seni Pertunjukan Rakyat, Jakarta, tahun 1982.
• Festival Kesenian Tradisional tingkat Nasional, Jakarta, 1984.
• Festival Teater Tingkat Nasional, Jakarta, 1986.
• Temu Seniman/Teater Tingkat Nasional, Jakarta, 1986.
• Pernah mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta sekitar tahun 1976 hingga 1980-an.
• Pernah beberapa tahun menjadi langganan juara I pada sayembara sastra melalui Hari Pahlawan dan Hari Pendidikan Nasional tingkat Sulteng. Supaya tidak ketahuan atau agar panitia/juri tidak jenu, namapun disamarkan dalam setiap naskah, 1976-1980-an.


DEMOKRASI CUMA DEKORASI
(buat kaum demokrat)

Berulang kita terbangun dari kelu
hanya untuk menghapus mimpi
jarak langkah itu semakin semu
terpagut jambak tirani
atau
jaraknya : tangis sangsai
tepinya bui dan mesiu

Buat kalian kaum demokrat sejati
betapapun dampingi anak pribumi
lantaran ditiap janji demokrasi
kita dibangunkan paku dan palu dekorasi
akankah kita selalu bangun dari mimpi
lalu di pintu terbaca lagi:
demokrasi ¬= dekorasi

Makassar-Palu 1970/71


LUKA INDONESIAKU

(sesaat setelah mencoblos
tanda gambar Pemilu 1987:
buat pemimpin bangsa ini)

Bau amis berhembus dari pantai
biasa puluhan tahun selama ini
tetapi ini kali
kelewat menyengat membuat hati jadi sangsi

Adakah isi laut semakin terburai
dan karang kukuh tak lagi tegak berdiri
atau sudah musnahkah terumbu alami
hingga seluruh satwanya bergolak tak terkendali
Oo - mungkinkah ini jarak yang menandai
seperti borok yang kian mengikis pantai
hutan yang kian gerah tak terpatri
padang tambang menggeliat terbakar api
mega mega enggan berarak penuh arti
sang bayu mungkin sedang menyepi
laut beriak pelan menanti berita dari sungai

Ini bukan sekedar isyarat yang alami
sebaiknya di antara tuan saling mengingati
bahwa setiap keterlampauan itu keji
pada akhirnya kan mengentalkan tirani

Dimohon tuan hargai diri sendiri
tahu diri sungguh amat terpuji

mundurlah sebelum segalanya harga mati
sebelum kami semua cercakan caci maki
lalu tuan tumbang bagai pohon kenari
menimpah lahan yang sarat dengan penghuni
merubuhkan pagar marwah bangsa ini

Tapi kalau tuan masih juga tak peduli
biarlah kita ketemu saat segalanya telah terjadi
cuma sayangnya bangsalah yang kian merugi
berapa jumlah yang harus ditebus sendiri
sebelum memungut jati diri kembali
cuma lantaran tuan tak tahu diri.

Palu 1987


DUKA INDONESIAKU

Sepuluh tahun lampau kutulis puisi
tentang pemimpin yang bakal tumbang esok hari
kalau kini kuungkap kembali
lantaran barusan beberapa detik ini
kutangkap berita duka di fajar sepi:
seorang pemimpin bakal jatuh dari kursi
atau terjerembab patah kaki
setelah sumpah serapah dan caci maki
tumpah rua di bumi pertiwi

Semoga ini cumalah celoteh si anak bayi
sebab kalau memang harus terjadi
sungguh bangsaku kian larut dalam sangsai
Oo – saujana – apalah arti serentetan memori

Duhai sanak kecintaanku di taman negeri
adakah kita harus kian tersisih ke tepi
lalu mengulang simpul luka-duka anak pribumi
dan terserampang kalap saling membantai
antara kita yang muasalnya tak dipahami
ketika kita saling mengaji
segalanya sudah rata dengan bumi
kita tinggal saling mengiris hati
mengutuk dalam ramai
berdoa dalam sepi
citrapun tak kunjung tercapai
apa lagi kesejatian bangsa yang kian terburai


Tuhanku kaulah yang mandiri
bangsaku bakal cerai berai
buntu untuk lakukan yang berarti
jangan biarkan kami sesali diri
atau bunuh diri
apa lagi menjual diri
wahai zat yang berdiri tegak sendiri
kami datang serahkan diri
bersimpuh di depan pemilik hak sejati
duka hamba tak lagi tersapa di bumi pertiwi
duka hamba tak lagi termuat di hati
duka hamba tak lagi terungkap di sini
atas nama anak pribumi

Palu 04.30 19 - 12 – 1997


SONETA COMBERAN: DEMOKRASI – HAK ASASI
(puluhan tahun lalu kutulis: demokrasi cuma dekorasi)

Sepanjang jalan terpancang panji bernuansa hak asasi
apa saja melambangkan warna tersendiri
di tiap lorong gedung dan lapangan penuh memori
berpacu saling mendahului katanya itu demokrasi

Tatanan lama dianggap kuno segera dipreteli
petuah moralitas semakin tak lagi berarti
nahkoda rumah tangga makin kehilangan simpati
tiap orang ingin tampil katanya itu citra jati

Alasan hak asasi mulai tawarkan harga mati
bahkan dituntut segalanya harus transparansi
tak perduli dengan itu pupuslah harga diri

Semutpun amat tegar dalam tatanan hewani
mungkin karena semangat tanpa ambisi komisi
mereka lebih santun dibanding mahluk insani

II
Uruslah diri dan keluargamu mengapa harus pusing
biarlah orang berbuat semaunya masing-masing
kalau aku tampil bugil mengapa kalian pening
zaman bugil luar dalam tak butuh malu kucing

Bagai malam hening dirobek lolong anjing
hak asasi individu menggonggong kian nyaring
mahluk hewan dibalut kain saat ikut tanding
lantas manusia malah bugil dengan gaya nungging

Bumi penat dengan ulah manusia yang kian miring
malaikat kerja ekstra merondai yang kian sinting
sementara sedikit lainnya malah ngeri merinding

Bereforia katanya debat seminar dan saling tuding
merekalah pasti pihak pemenang dalam adu taring
toh manusia dan hewan cuma gunakan insting

III
Begitu banyak bangsa terjajah justru alasan demokrasi
kemerdekaan cuma sebatas pembacaan deklarasi
seluruh proses pembangunan didongkrak oleh intervensi
bangsapun hidup terengah menyangga hati

Kesadaran kebangsaan mustahil berjalan mandiri
milik kekayaan tak sempat dinikmati anak pribumi
terjadilah pembodohan sumber daya yang tak manusiawi
sebagian potensi dikebiri oleh birokrasi bau tirani

Aneh kalau biangnya adalah ulah politisi
melelang tanah dan bangsanya tanpa rasa mengibuli
tiap selesai berceloteh tampil lagi penuh janji

Hingga di sini demokrasi hak asasi sungguh cuma teori
sebab demokrasi yang benar dalam berhak asasi
adalah semua orang tidak lagi saling mengebiri

Palu Mei 1998-April 1999


BASA-BASI 2009
***
Selamat datang basa-basi
kau datang lagi
dan memang kau tak pernah pergi
apalagi lari
kau cuma ngumpet di balik hati
berdendang dalam ramai
menghasut dalam sepi

***
Bila kau mahluk
meski tak berbentuk
inderamu berkangkang di tiap teluk
ke tiap lekuk
di mana saja ada mahluk
di tiap benua
mengail manusia
mahluk paling sempurna
( iya, mahluk lainnya
Dan untuk apa
: memangnya cari makanan basi
Harus dengan bahasa yang basi )

***
Padahal kau bukan mahluk manapun
kau cuma seutas keadaan beruntun
lahir dari manusia yang lata keadaan
lata dalam seribu alasan
lata dalam kebohongan
akhirnya lata dalam kekuasaan
( meskipun tak terlupakan
ada yang lata dalam ketidakberdayaan
tapi itu dalam lain keadaan )

***
Kehadiranmu dalam nyata di sini
bukanlah realita di hati
bila kau liar tak terkendali
maka kaulah yang jadi hati
lambat laun hatipun mati
meski belum jadi bangkai
tapi begitu banyak korban basa-basi

***
Sungguh tertip-norma tlah memadai
tapi hasrat tak kunjung berdamai
terangkailah basa-basi jadi opini
merayaplah opini jadi basa-basi
dan kini
bebal-bebalan kian membelalai
dengki-dengkian makin tak terurai
hasut-hasutan semakin menabur benci
sumpah serapah kembali memburai
seluruh tatanan kehilangan napas alami
tiap wajahpun bertampan basa-basi
topeng manakah di wajah negeri ini

***
Pihak tak terlibat geleng kepala :
ada yang merasa kehilangan pena
ada yang merasa kehilangan hak
merasa kehilangan norma
merasa klehilangan nama
kehilangan bangsa
kehilangan hidup
bila akumulasi itu buntu sekali saja
………………………………. ooo
Haruskah kita sekali lagi
Mengeja peradaban kita sendiri


***
(fitnah dalam bentuk lain
bermula dari kebuntuan kebuntuan basa-basi)

basa-basi dalam bentuk lain
bermula dari kebuntuan di hati )

***
Tinggallah idealisasi
prinsip kokoh tak butuh basa-basi
hati teguh tak butuh basa
waspadai basa-basi esok hari
sebelum negeri ini
benar-benar terburai

Palu, 6 November 2009

Senin, 22 Maret 2010

JAMRIN ABUBAKAR



Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia
Berprofesi sebagai wartawan sejak 1991 dan peminat masalah seni dan budaya. Tulisan pernah dipublikasikan Majalah PANJI MASYARAKAT, majalah INTISARI, Mingguan SULUH NASIONAL, PELOPOR KARYA (keduanya sudah tidak terbit)Harian Radar Sulteng, Harian Mercusuar, Harian MEDIA ALKHAIRAAT. Pernah menulis buku WAJAH KESUSASTRAAN INDONESIA DI PALU (1995) (fotokopy), MENGENAL KHAZANAH BUDAYA DAN MASYARAKAT LEMBAH PALU (1999)keduanya diterbitkan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Tengah. Saat ini sedang menulis buku; ALIMIN LASASI DEMI PANGGUNG TEATER,HASAN M. BAHASYUAN KOMPONIS LEGENDARIS TANAH KAILI, MASYHUDDIN MASYHUDA (Penyair Dari Kuala Sampai Samudra). Selain itu juga menulis puisi.

PECAHKAN KARANG


Tubuh mereka terpanggang matahari sepanjang hari
seribu kali ayungkan tangan, hidup terhempas
pecahkan karang-karang
yang tetap utuh membatu, keras!

Mereka hidup perih
bersandarkan batu karang
nafas tinggal sekeping
perjalanan senja badan lunglai
anak-anak di gubuk berkeliaran
menanti bapaknya pecahkan karang.

Karang hidup amat keras, tak terpecahkan.

1992


KEPADA IBU KITA


Ibu, ketika aku belum sadar siapa aku
kau telah tahu arti cinta dalam pelukan dada
tak kenal siang dan kegelapan malam

Cintamu sungguh rindang ketika kemarau
keteduhan sangat terasa saat ini
sejak dulu ternyata airmatamu adalah genangan penyejuk jiwa
cinta manakala hati risauk
karena anakmu tercinta tak mau kau lihat
ada kabut merintang matanya

Ibu, air matamu ternyata adalah pemadam kebakaran
cinta kelabu dalam dadamu
air mata kau tumpahkan,
karena tak rela kabut menghalau jalan
pertanda cintamu perkasa

Kini baru aku kenal arti mata ibu
tangis berkumandang pilu bukan sesal
tapi tali cinta tersimpul erat mengikat kasih
yang tak dapat dipadamkan gelora lautan

Cintamu ibu, segala badai mampu membendungnya
segala perang tak mampu goyahkan
cintanya terhadap ibunya

Ternyata cintamu merangkul dunia
pantang menyerah sekalipun badan binasa
selama berkibar-kibar
tak peduli ketakutan yang pernah ditakuti
sepanjang hidupmu hanya lelah kau nikmati
tak sempat lihat matahari terbenam.

Semoga kita dapat bersua kembali.

23 juli 1993.


KEMERDEKAAN DIPERTANYAKAN

Kemerdekaan dipertanyakan…..
mestikah kemerdekaan diulangi
kalau ada yang tak mengerti
sebab kemerdekaan bukan akhir penderitaan
kalau rakyat kecil disepelehkan

Kemerdekaan hanyalah sebuah kekuasaan
bila jeritan tangis tak berdaya

Kemerdekaan dipertanyakan…..
kalau anak negeri dibungkam menatap
hamparan tanahnya tergusur tanpa kompromi
mestikah bisu kalau jadi saksi bulldozer
melihat harga diri bencana buatan
mengalahkan amanat kemerdekaan

Kemerdekaan dipertanyakan….
kalau wajah-wajah layu diserang tanya
apa arti kemerdekaan bagi yang tersingkirkan?
kalau ketakberdayaan selalu terhempas
pertanda kemerdekaan dalam kemerdekaan
masih diperjuangkan

Kemerdekaan dipertanyakan….
kalau penjajahan karena belum merdeka
masih dapat terpikirkan
tapi kemerdekaan di atas kemerdekaan
mestikah dikorbankan?

Kemerdekaan masih dipertanyakan….

1995


SENIMAN DI KOTAKU

Inginnya rindu berkata;
di kotaku seniman terambang
suara diambang-ambangkan
cinta berakrab kelelahan
rasa dendam diredam
rasa luka tak terobati

Inginya rindu berkata;
kalau suara digemakan
sejuta harap jadi bisu
terwujud tiada tergerai
ungkapan tersalami, bukan amin…
dijemput diam dari atas

Inginya rindu berkata;
seniman di kotaku mengembara
di panggung belantara
kejar rindunya menjauh
sebelum menghadap maut

Inginya rindu berkata;
mimpi peradaban mengusik
anak kandung kotaku
salamnya seni meragu
dari kanda kepada ananda

Meskipun mimpi bukan nyata
seniman sejati berpihak cinta

Palu, November 1995.


KETIKA SAJA INI

Ketika saja ini kutulis
Kota kita masih tengadah
Di antara apitan bukit-bukit sepi
Jalan berliku menatap masa depan
Mengantar kaki telanjang naik tangga
Persahabatan masih bersahaja
Tidak seperti saat ini
Keangkuhan merasuki

Ketika saja ini kubacakan
Kegelisahan mencabik-cabik
Kota tercinta tinggakan wajah
Sebuah wajah tak menyapa
Masa depan yang tabah
Kepergiannya tinggalkan pesan
Masa lalu yang terputus

Ketika sajak ini kuterbangkan
Suara kenangan menjerit
Terperosok peradaban liar
Dari tirai jendela godan mengintai
Pertarungan di persimpangan jalan
Bergolak kebiadaban
Kelabu berlabuh tak berlayar

Ketika saja ini kulumatkan
Melapuk dan kehilangan rindu
Bercengkram kebimbangan

Berakhirlah sajakku ini
Tinggal izinkan aku berteriak
“Kembalikan wajah kotaku”
Meskipun penyair tak punya senjata